Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?
LEUWINANGGUNG adalah
sebuah desa yang mirip kebanyakan dusun Pulau Jawa. Di sana ada rumah,
sekolah, masjid, klinik, pohon dan bambu, madrasah ibtidaiyah, serta
kantor lurah. Tetapi Leuwinanggung tak sama dengan desa-desa lain di
Pulau Jawa karena di sana berumahlah seorang dewa .... namanya Iwan
Fals.
Dewa ini tinggal di sebuah rumah besar. Tanahnya 6.000
meter persegi. Bagian terbesar dipakai untuk sebuah toko, pendopo,
sebuah panggung terbuka, maupun kantor organisasi para penggemar si dewa
bernama Oi. Kediaman pribadi dewa ini dilengkapi studio musik, garasi
mobil (termasuk bus), rumah tinggal, serta kebun dengan rumput tercukur
rapi.
Suatu sore September lalu, Iwan Fals menceritakan
perkenalannya dengan Leuwinanggung pada saya. “Tahun 1982 saya cari
tanah di sini, maksudnya untuk investasi saja,” katanya. Dia membeli
tanah dari rezeki penjualan kaset Sarjana Muda yang diluncurkan 1981 dan
terjual 300 ribu buah. Kisah berikutnya, dia sekali-sekali datang dari
Jakarta bersama istrinya, mantan model Yos Rosana, menengok tanah mereka
serta membawa pulang buah-buahan dari kebun.
Leuwinanggung
menarik karena warganya rukun. Kalau ada acara perkawinan, jaipongan,
atau kematian, semuanya kumpul. “Bila ada kematian, pengunjung yang
datang justru dibayar. Diberi uang. Mereka bahkan sampai ngutang. Dalam
hati saya pikir, ‘Gagah amat.’ Saya merasa kecil sekali. Kayak jawara
gitu. Ada kegagahan di sini. Kalau mereka datang kenduri, duduk,
pandangan ke depan, nggak ditegur ya diam saja. Kalau ada makan ya nggak
rakus. Saya kan dulu nggak tahu. Ada makanan ya saya makan,” kata Iwan.
Kalau
sedang tak sibuk, Iwan ikut salawatan tiap malam Jumat. “Bahasanya
campur Arab, Sunda, Jawa. Ada 20 nomor salawatan lama yang saya
kumpulkan.” Salawatan untuk sebuah desa macam Leuwinanggung, yang
tanahnya, kapling demi kapling dibeli orang Jakarta, dan anak-anak
mudanya mulai kekurangan pekerjaan, bisa jadi kekuatan untuk desa ini.
“Kekuatan secara batin, secara spiritual,” kata Iwan.
Leuwinanggung
sendiri terletak di daerah Bogor. Penduduk di sana sehari-hari bicara
bahasa Sunda kasar. Orang butuh sekitar satu jam naik taksi dari Jakarta
ke Leuwinanggung. Daerahnya terpencil. Selewat magrib, jalanan
Leuwinanggung sepi dan jarang ada kendaraan. Ketika 16 Agustus lalu saya
kemalaman di Leuwinanggung, lewat tengah malam saya jalan kaki empat
kilometer untuk mendapatkan tukang ojek.
Ketika itu sekitar 600
penggemar Fals dan penduduk Leuwinanggung merayakan Agustusan bersama.
Di sanalah saya menemukan banyak iwan fals. Mereka bergaya ala Fals
dengan rambut gondrong, jins belel, memberi salam dan berteriak “Oi.”
Suaranya dibuat dalam, agak serak. Di panggung, lagu-lagu Fals dibawakan
bergantian, dari yang mirip aransemen aslinya, sehingga mendapat tepuk
tangan, sampai yang ditertawakan penonton—dapat tepuk tangan juga.
Yang
ditertawakan termasuk seorang pemuda 30-an tahun. Topinya merah,
rambutnya gondrong sepundak, kulitnya gelap, giginya putih bersih, dan
namanya Fajar Wijaya. Fajar seorang pengamen kelahiran Yogyakarta tapi
lebih sering mengamen di Cilegon. “Saya terharu, menjerit, merasa ada
panggilan hati. Dapat bimbingan dari lagunya itu,” katanya, mengacu lagu
Di Mata Air Tak Ada Air Mata.
“Saya merasa kok ada hikmah
tersendiri buat hidup saya. Saya merantau. (Lagu) ini nasihat dalam
perjalanan hidup saya. Saya merenungkan jati diri saya,” kata Fajar,
tersenyum sembari menarik-narik baju luriknya yang lusuh.
Iwan
Fals memang bukan dewa dalam pengertian mitologi Yunani. Mungkin
kedewaan Fals lebih dekat dengan fenomena musik 1960-an ketika
dinding-dinding kota London dicorat-coret dengan kalimat, “Clapton is
god (Clapton seorang dewa).” Mereka yang anonim itu memuja Eric Clapton,
gitaris blues Yardbirds yang muncul di Inggris pada 1963. Majalah
Rolling Stone menyebut Clapton menonjol karena konsisten menjaga standar
mutu karyanya.
Orang yang malam Agustusan itu tak kalah sibuknya
dengan Fajar adalah Slamet Setyabudi, koordinator keamanan Oi, yang
sehari-hari bekerja sebagai tentara dengan pangkat sersan dua dari
Pasukan Pengawal Presiden. Slamet badannya tegap, orangnya ramah. Dia
anggota grup C yang bertugas mengawal tamu-tamu negara. Dia pernah
mengawal Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Timor
Lorosa’e Xanana Gusmao. “Habis dinas saya ke sini,” katanya.
Slamet
sesekali membawa rekan-rekannya ke Leuwinanggung untuk bantu keamanan.
“Tentara yang penggemar Mas Iwan ini sebenarnya banyak,” katanya. Saya
sempat berpikir nakal. Negara Indonesia membayari ratusan tentara untuk
mengawal presiden dan wakil presiden. Mereka menerima gaji, sering pergi
ke luar negeri, menerima pelatihan, mendapat seragam keren. Ternyata
tentara yang sama mengawal Iwan Fals dengan gratis!
Malam itu
lebih dari selusin pengurus Oi bercerita tentang Fals pada saya. Mereka
cerita para penggemar yang terperangah ketika pertama kali menemui Fals.
Banyak yang “gila” dengan memeluk, mencium tangan, dan menangisi Fals.
Ada yang datang dari Flores, Riau, Jambi, dan sebagainya.
Malam
itu saya berharap melihat ritual tersebut. Ratusan penggemar berharap
sang dewa muncul. Namun Iwan tetap tinggal di rumah. Dia “meriang,
kecapekan” dan dicurigai kena tipus. Dewa ini ternyata manusia biasa
yang bisa sakit.
MALAM itu juga ada Muhamad Ma’mun. Seorang
lelaki yang menarik. Penampilannya kalem, rambutnya panjang, dan
terkadang dipanggil “Romo.” Ma’mun dulu pernah kerja di perusahaan
properti tapi sekarang wiraswasta, memborong pekerjaan bangunan rumah.
Ma’mun termasuk kenalan dekat Iwan Fals. Dia mengenal keluarga Fals
sejak 1985 ketika mulai mondok di sebuah rumah di Jalan Barkah,
Manggarai, Jakarta Pusat. Rumah itu milik Lies Suudiyah, seorang pekerja
sosial dan ibunda Iwan.
Fals waktu itu sudah berkeluarga dan
tinggal di Condet. “Panggilan rumahnya Tanto,” kata Ma’mun. Nama
lengkapnya Virgiawan Listanto. “Galang masih kecil, belum sekolah,
mungkin empat atau lima tahun. Cikal baru bisa jalan,” kata Ma’mun,
mengacu pada anak Iwan: Galang Rambu Anarki dan Anisa Cikal Rambu Basae.
Entah
kenapa keduanya cocok. Ma’mun usianya tiga tahun lebih tua dari Iwan.
Ma’mun kelahiran Solo 1958 sedang Iwan Jakarta 1961. Mungkin mereka
punya karakter dasar yang sama. Keduanya orang yang tak ragu
mempertanyakan apapun. Saya terkesan dengan kerendahan hati mereka.
Ketika mondok Ma’mun bekerja sebagai pegawai PT Pembangunan Jaya
sementara Iwan sudah mulai dikenal sebagai penyanyi. Persahabatan mereka
berlanjut hingga sekarang. Ma’mun termasuk orang yang diminta Iwan jadi
pengurus Yayasan Orang Indonesia—yayasan sosial yang dibentuk dan
diketuai Iwan sendiri.
Pengalaman berkesan Ma’mun terjadi ketika
mereka lagi membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto
anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang. “Wah, ini perlu disentil
To,” kata Ma’mun.
Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena.
Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja.
Hasilnya, lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album
Wakil Rakyat (1987). Ma’mun bangga dengan karya bersama ini apalagi
ketika mahasiswa menjadikan lagu itu “lagu wajib” demonstrasi. Hingga
kini Ma’mun rutin mendapatkan kiriman uang royalti dari Musica—produser
dan distributor sebagian besar album Fals.
Ma’mun menilai
temannya itu sebagai salah satu penyanyi kritik sosial terkemuka di
Indonesia. Iwan menggunakan bahasa Indonesia, untuk bercerita tentang
anak maling yang jadi maling, sunatan massal, pelacur, korupsi, nasib
guru, dan sebagainya. Majalah Time Mei lalu menyebutnya “pahlawan
Asia”—sejajar dengan Jackie Chan, Xanana Gusmao, dan Aung San Suu Kyi.
Kalau
artis lain menjaga penampilan mereka lewat make up menyala, potongan
rambut aneh, kostum unik, atau operasi plastik untuk memperindah diri,
Iwan Fals tampil biasa. Beberapa kali saya menyaksikan Iwan memakai kaos
Shanghai, kaos katun tipis dan lembut, yang harganya Rp 10 ribu
selembar, saat konser. Orang toh tetap histeris melihatnya. Iwan mungkin
punya kharisma.
Amir Husin Daulay, seorang aktivis mahasiswa
1980-an, menyebut Fals “nabi buat para pengikutnya.” Pada 1983 Daulay
mengundang Fals mengamen ke kampus Akademi Ilmu Statistik. Iwan datang
bersama Yos, membawa gitar, menyanyikan empat lagu, dan mendapat honor
Rp 400 ribu. Pengalaman mengamen, yang dilakukannya bertahun-tahun,
melatih Iwan menghadapi massa, dari pentas ke pentas, sehingga tahu
bagaimana mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur suara, mana yang
disukai, mana yang tak disukai.
Persahabatan Ma’mun dan Iwan
meningkat seiring karier mereka berdua. Antara Sarjana Muda hingga album
Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu pada 1989, Iwan menghasilkan 13
album bersama Musica. Artinya, hampir satu album tiap enam bulan. Ini
luar biasa.
Pada 1989 Iwan menerbitkan album Mata Dewa bersama
Arena Indonesia Production (Airo). Mereka berniat mengadakan tur 100
kota. Konser perdana 26 Februari 1989 di Jakarta berjalan baik tapi
buntutnya sebelas kendaraan bermotor dirusak. Mengapa kerusuhan terjadi?
Sampai hari ini belum ada penjelasan rinci. Apa polisi kurang
profesional? Atau Arena Indonesia Production kurang siap? Atau Fals
mengeluarkan kalimat-kalimat yang memprovokasi massa?
Tapi tur
jalan terus ke Pulau Sumatra. Sore hari 9 Maret 1989, Ma’mun dan Iwan
Fals berada di sebuah hotel di Palembang. Keesokannya, Iwan bakal tampil
di konser Mata Dewa. Sehabis makan malam, Ma’mun dan Iwan masuk kamar.
Di depan cermin, mereka bicara soal persiapan konser.
“Gayane ngene yo? (Gayanya gini ya?)” tanya Iwan, sambil memegang gitar akustik.
“Ojo ndingkluk. Rodo ndegek (Jangan menunduk. Agak membusung),” kata Ma’mun. Iwan pun mengubah gayanya memegang gitar.
“Nek penyanyi rock ngene lho! (Kalau penyanyi rock begini lho!)” kata Ma’mun, mengambil gitar dan memberi contoh.
Mereka
diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena
Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu
ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals
melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah
siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi,
Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung
adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.
Ironisnya,
polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan
Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari
massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola
atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau
khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar
kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?
Lebih susah
lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas
melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan
teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang
demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh
karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar
Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan
Mata Dewa.
“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang
meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan
Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat
di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia
etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai
musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena
Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.
“Pihak ketiga”
kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna
menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga”
ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik
sosial Fals.
Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu.
Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak
sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan
bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata
Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok.
Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang
Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung
dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya
sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja
sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri
rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody,
rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya
Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara
dengan Djody?
Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar.
Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari
hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan
desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim
Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak
melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa.
Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk
memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi.
Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk.
“Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian
satu.”
Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi
lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan
untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada
1986.
“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah
saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul.
Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.
“Pada awalnya
Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan
beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih
lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama
itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua
sudah beristeri.
Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus
Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano
Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus
Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus
Barock.
Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul
Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan
minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus.
Ini cepet nyebarnya.”
“Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.
“Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”
Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.
Bento
diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah
dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan
orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran.
Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha,
yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya
dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak
kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.
namaku Bento, rumah real estate
mobilku banyak, harta melimpah
orang memanggilku bos eksekutif
tokoh papan atas, atas segalanya, asyik
Sawung
Jabo membantu aransemen lagu tersebut, “Saya memasukkan unsur tema lead
accoustic,” katanya. Ketika beredar ke pasar, Swami memang ibarat
virus. Lagu Bongkar juga jadi salah satu hit. Mula-mula media sempat
bertanya-tanya apakah TVRI bersedia menyiarkan Swami. TVRI waktu itu
satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI sepenuhnya dikuasai
rezim Soeharto. Ternyata tanpa ada keistimewaan, Bongkar muncul pada 13
Maret 1990. Ini mengejutkan banyak wartawan musik. Sekali lagi teori
“pihak ketiga” tidak laku.
PADA Maret
1990 rombongan Swami datang ke Salatiga: Sawung Jabo, Iwan Fals,
Naniel, Nanoe, Inisisri, penyair W.S. Rendra, pengusaha Setiawan Djody,
dan sebagainya. Salatiga sebuah kota kecil di tengah Pulau Jawa yang
pada 1980-an secara politik cukup dinamis.
Media banyak
memperhatikan kedatangan mereka. Bagaimana tidak? Djody miliuner kapal
tanker yang dekat dengan keluarga Soeharto. Rendra seorang penyair,
mungkin yang terbaik di Indonesia, yang beberapa kali masuk tahanan Orde
Baru. Jabo pemusik yang sering bikin eksperimen bermutu. Iwan sendiri
dianggap makin memberontak sejak Palembang. Sebuah kolaborasi unik.
Orang
yang berperan mendatangkan Swami ke Salatiga adalah Endi Agus Riyono
A.S. atau biasa disingkat Endi Aras—seorang mantan aktivis mahasiswa
Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga dan wartawan majalah Film
di Jakarta. Endi orangnya ramah, rambut bergelombang sebahu, murah
senyum, pandai bergaul, suka musik, dan suka ikut kepanduan. Juli lalu
ketika saya mewawancarai Endi, penampilannya tak banyak berubah, walau
perutnya agak buncit, sudah berkeluarga, serta memiliki perusahaan
sendiri Matamata Communications yang bergerak di bidang public relation
dan event organizer.
Endi bertemu Iwan pada 1985 ketika ia diutus
rekan-rekannya menghubungi Iwan agar menyanyi dan ceramah di kampus
Satya Wacana. “Aku disuruh cari ke Jakarta,” kata Endi. Mulanya Endi
cari di Musica tapi tak ada dan ketemunya di Condet. Iwan keberatan
datang ke Salatiga, “Aku nggak bisa ngomong,” kata Iwan.
Iwan
merekomendasikan penyanyi balada lain. Endi penasaran. Endi pengagum
Fals dan punya koleksi lengkap album Fals. Endi pun menulis surat kepada
Iwan dan dibalas pakai tulisan tangan. “Apa yang diomongin sama yang
dipikir, lebih cepat yang dipikirin,” kata Endi, menerangkan keengganan
Iwan tampil pada fora akademik.
Kejadian itu membuka perkawanan
Endi dan Iwan. Pada 1989 Endi bekerja di majalah Film. Sebagai wartawan
ia menulis soal Iwan. Ini praktik biasa di kalangan wartawan musik
Indonesia—menjalin pertemanan dengan sumber-sumber mereka. Endi dan Iwan
sering telepon-teleponan. “Ndi kamu ke sini,” ujar Iwan. Bila Endi
dolan ke tempat Iwan, mereka bisa mengobrol dari siang sampai malam.
Mereka juga sering naik mobil, mengobrol, mengelilingi jalan tol. “Iwan
itu senang kalau ada teman ngobrol,” kata Endi.
Endi membawakan
buku-buku untuk Iwan. Misalnya Catatan Harian Seorang Demonstran tentang
Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an yang ikut mengatur demonstrasi
anti-Presiden Soekarno, yang meninggal keracunan gas di Gunung Semeru
pada 1969.
Endi juga memberikan selebaran-selebaran gelap. Iwan
tertarik karena ia simpati pada orang tertindas. Pada 1980-an
ketidakpuasan warga Indonesia terhadap rezim Soeharto makin tinggi.
Anak-anak Soeharto beranjak dewasa dan terlibat dalam bisnis, dari
monopoli cengkeh hingga jalan tol. Militer juga makin kuat mengontrol
kehidupan warga walau di sana-sini ada gesekan internal antara militer
hijau (muslim) dan militer merah putih (nasionalis).
Di Salatiga
Endi sering menginap di kantor Yayasan Geni—sebuah organisasi nirlaba
yang banyak terlibat gerakan protes. Satya Wacana 1980-an juga kampus
yang memberikan tempat untuk pemikiran kritis, antara lain karena
pengaruh dosen-dosen liberal macam Arief Budiman, seorang doktor lulusan
Universitas Harvard, kakak kandung Soe Hok Gie, yang getol bicara
Marxisme, negara, masyarakat, demokrasi, dan acapkali diwawancarai
media. “Iwan ngefans sama Arief Budiman,” kata Endi.
Budiman
dekat dengan mahasiswa, antara lain dengan Stanley, panggilan seorang
aktivis mahasiwa yang nama lengkapnya Yosep Adi Prasetyo. Stanley kawan
dekat Endi. Budiman sering mengajak Stanley, Endi, dan mahasiswa lain
ikut diskusi. Dari Stanley pula Endi menerima selebaran gelap dan buku.
Endi menyampaikannya pada Fals.
Ketika Swami mengeluarkan album,
Endi menawari Swami pergi ke Salatiga. Pucuk dicinta ulam tiba. “Biaya
dari Djody semua, panitia hanya ngurus tempat. Kita agendakan
ngobrol-ngobrol di rumah Arief Budiman,” kata Endi.
Mereka datang
lebih awal dan mengadakan dua diskusi. Diskusi agak besaran diadakan di
sebuah guest house milik Satya Wacana, sebuah rumah kolonial
peninggalan Belanda, yang luas dan megah. Rumah itu dipakai Djody dan
peragawati Regina Sandi Harun, istri muda Djody. Diskusi agak kecil
diadakan di rumah Budiman sembari makan malam. Rumah ini terletak dekat
sungai, dibangun dengan konsep terbuka, menggunakan bambu, dan dijaga
beberapa ekor angsa. Budiman mengundang cendekiawan setempat, antara
lain pendeta Broto Semedi, Stanley, dan beberapa mahasiswa lain untuk
diskusi dengan rombongan Jakarta. Saya kebetulan ikut diundang.
Kami
bicara santai, bersila, duduk dengan tikar. Arief Budiman memancing
Iwan Fals untuk masuk ke dunia aktivis. “Seniman harus tahu politik,”
katanya. Budiman cerita soal Victor Jara dari Chile, pendukung Presiden
Salvador Allende, yang terbunuh ketika Jenderal Augusto Pinochet
mengudeta pemerintahan sosialis Allende pada 1973. Budiman mengerti
Chile dengan baik karena tesisnya di Universitas Harvard tentang
kegagalan Allende memakai sosialisme. Victor Jara seorang pemusik
popular mirip Fals. Lagu-lagu Jara penuh kritik sosial. Jara juga main
gitar akustik. Jara mati bersama dengan Allende.
Saya punya kesan
Iwan enggan atau malu menanggapi Budiman. Iwan lebih banyak diam. W.S.
Rendra, teman lama Budiman, lebih banyak bicara dengan gayanya yang
teatrikal. Rendra khusus memperkenalkan kami kepada Djody yang
disebutnya sebagai seorang pengusaha-cum-seniman. Rendra mendominasi
pembicaraan malam itu dengan sekali-sekali ditanggapi Djody, dan Sawung
Jabo. Leila Ch. Budiman, istri Arief, jatuh hati pada Iwan yang
disebutnya “anak manis.”
Salah satu isu sampingan yang mereka
diskusikan adalah kejengkelan Rendra dan kawan-kawan terhadap industri
rokok. Mereka jengkel pada industri ini—yang sering jadi sponsor utama
konser-konser musik—karena seenaknya menempelkan pesan sponsor di
panggung. Logo rokok dipasang di pusat panggung. Mereka memaki-maki
industri rokok karena mengganggu estetika. Mereka mengatakan sulit untuk
tak menerima sponsor rokok karena kontribusi mereka besar tapi jangan
begitu caranya.
Ironisnya, mereka kurang tertarik mendiskusikan
dampak rokok pada anak-anak muda penggemar mereka. Mungkin karena mereka
sendiri perokok berat. Iwan juga perokok. Suratkabar-suratkabar
setempat memberitakan protes ini. Diam-diam beberapa mahasiswa melihat
para tamu Jakarta ini, bukan saja mengisap rokok, tapi juga ganja.
Saya
tak mau menghakimi. Beberapa teman saya juga menggunakan ganja dan
biasa-biasa saja. Saya kira isu ganja bukan soal benar atau salah. Ganja
mirip dengan rokok. Ia tak mematikan. Ganja berbeda dengan obat-obatan
kimiawi macam narkotik, esctasy, atau putauw yang bisa berakibat fatal
kalau kelebihan.
Iwan mengakui memakai ganja sejak Palembang.
“Habis gimana? Murah, bisa beli di mana-mana, enak?” Jabo tak mau
berkomentar soal ganja. Dalam lingkungan Swami, mengisap ganja mendapat
semacam legitimasi karena dianggap biasa. Djody dan Rendra juga saya
lihat mencoba daun ganja yang dilinting kecil.
“Tadinya mau kayak
(penyanyi reggae) Bob Marley, punya kebun ganja sendiri. Nyanyi, ganja,
nyanyi, ganja. Tapi kan dilarang hukum, (dilarang) agama. Dalam hidup
ini, orang yang nggak mabuk lebih banyak dari yang mabuk,” kata Iwan.
Kresnowati,
seorang mahasiswa Satya Wacana dan kenalan Endi, ikut jadi panitia.
Wati tak melihat ganja tapi terkejut menyaksikan awak Swami, termasuk
Iwan, menggoda dan menjahili mahasiswi. “Ya … kok gini?” pikirnya.
Wati menghibur diri dengan berpendapat Iwan laki-laki biasa. “Manusia biasa yang punya talenta luar biasa.”
Menurut
kawan-kawannya, periode ini cukup liar untuk Iwan Fals. Yos Rosana
memutuskan pakai jilbab. “Dia bilang panggilan sebagai seorang muslim.
Dia ingin memberikan contoh pada Iwan dan anak-anak untuk lebih ingat
agama,” kata Fidiana, istri pemain kibor Iwang Noorsaid, pasangan yang
berteman dengan keluarga Iwan. Yos juga agak khawatir pada pengaruh W.S.
Rendra, orang yang dianggap guru oleh Iwan, tapi punya reputasi agak
longgar dalam urusan perempuan. Rendra menikah tiga kali. Djody juga
baru menikahi Sandi Harun. “Iwan kan good looking!” kata Wati.
Malam
yang dinanti-nantikan pun datang. Swami main di Lapangan Pancasila
Salatiga. Malam itu saya ikut menonton dan ikut bernyanyi, “Bento,
bento, bento.” Saya merasakan adanya semangat perlawanan di sana dan
bersyukur Indonesia punya musisi macam mereka. Endi mungkin warga
Salatiga yang paling bahagia malam itu.
SAMBUTAN hangat
membuat Swami plus Setiawan Djody tertarik maju lagi. Mereka mendirikan
kelompok baru dengan nama Kantata Takwa. Perbedaan personalia Swami dan
Kantata Takwa terletak pada W.S. Rendra dan Djody.
Djody jadi bos
sekaligus pemain. Rendra memakai syair-syairnya, termasuk puisi
"Kesaksian" yang terkenal itu, untuk dilagukan Kantata Takwa. “Rendra
tidak sekadar membuat lirik, tapi lebih dari itu. Kadang dia sebagai
alat kontrol pada proses kreatif kami. Rendra pulalah yang memberikan
judul ‘Kantata Takwa.’ Rendra ikut memberi warna dan bentuk yang jelas
pada Kantata Takwa. Terutama pada saat pementasannya,” kata Sawung Jabo.
Djody
mengeluarkan uang tapi agak tersinggung kalau dianggap keberadaannya
semata-mata karena duit. Pada 1990, Djody pernah mempersilakan saya
datang ke rumahnya di daerah Kebagusan, Jakarta Timur, melihat latihan
Kantata Takwa. Djody cerita masa lalunya di Solo ketika jadi gitaris
sebuah kelompok musik rock. Orangnya flamboyan, rambutnya tersisir rapi,
kulitnya bersih, pakaiannya bagus. Rumahnya besar sekali. Besar sekali.
Ruang keluarga, yang menghadap kolam renang, diubah jadi tempat latihan
band. Di sana ada lukisan Djody besar sekali. Saya menduga karya
maestro Basuki Abdullah.
Djody cerita bisnisnya dengan Sigit
Harjojudanto, putra sulung Soeharto, maupun Eka Widjaja dari kelompok
Sinar Mas. Dia juga cerita pergaulannya dengan Jenderal Benny Moerdani,
mungkin orang terkuat kedua di Indonesia sesudah Presiden Soeharto waktu
itu. Moerdani dinilainya pintar dan tahu seni. Tak ada rasa takut dalam
cerita Djody. Dia cerita isu yang agak pribadi tentang Moerdani. Bisnis
adalah bisnis. Seni adalah seni. Djody mencintai keduanya.
Namun
tak semua orang suka dengan kolaborasi ini. Beberapa penggemar Fals dan
wartawan musik menilai periode ini keiwanfalsan Iwan menurun. Ada yang
menilai Iwan lebih vulgar. Teori “pihak ketiga” lagi-lagi dipakai. Ada
yang menyalahkan Sawung Jabo. Dulu lirik Iwan lebih puitis. “Setelah
gabung dengan Jabo lebih keras, Jabo kan suka main hantam?” kata
fotografer Idon Haryana, menirukan analisis wartawan tabloid Detak A.S.
Laksana. Banyak juga yang curiga pada W.S. Rendra. Lebih banyak lagi
yang curiga pada Djody.
Muhamad Ma’mun mengatakan, “Secara
eksplisit saya sampaikan, ‘Saya nggak suka sama Mas Djody.’ Saya
sampaikan pada Iwan. Sampai beberapa tahun, saya masih ngomong nggak
suka. Saya nggak pernah sekali pun ketemu Djody. Diajak ketemu Djody
tapi nggak mau.”
Menurut Sawung Jabo, kalau Djody diragukan
integritasnya, Iwan pun tak mau membela atau menjelaskan, karena dia
sendiri “tidak tahu.” “Intinya kami bersama telah berbuat sesuatu,
silahkan masyarakat menilainya sendiri. Apakah yang kita kerjakan
bersama itu ada gunanya atau tidak?”
Ma’mun menganggap musik
Kantata Takwa, yang memakai koor, synthesizer, dan kecanggihan lain, tak
cocok untuk Iwan. “Ini bukan kemajuan. Yang dikenal orang di gang-gang,
di pasar-pasar, ya lagu-lagu yang dulu. Karya besar nggak harus yang
susah dibawakannya.”
Ma’mun mengacu pada lagu-lagu Koes Plus dan
The Beatles. Dia menyebut lagu Imagine karya John Lennon. Aransemennya
sederhana tapi nilainya tinggi. Ma’mun berpendapat karya-karya abadi
aransemennya sederhana dan mudah dimainkan orang.
Rekaman album
Kantata Takwa jalan lancar. Menurut Jabo, Rendra terlibat mulai dari
gagasan awal. “Saya baru terlibat masuk di pertengahan proses pembuatan
materi lagu, sebelum dimulainya proses rekaman di Gin Studio.” Lagu
andalan mereka berjudul Kantata Takwa yang dibuka dengan dzikir.
Albumnya diedarkan awal 1990. Sampulnya bergambar Djody, Rendra, Iwan,
Jabo, dan Jockie Suryoprayogo. Ada satu kalimat berbunyi, “Setiawan
Djody mempersembahkan Kantata Takwa.” Ini menimbulkan kesan album ini
“hanya” persembahan Djody—bukan Rendra, bukan Iwan, bukan Jabo, bukan
Suryoprayogo. Saya kira pilihan ini kurang bijak.
Pertunjukan
Kantata Takwa di stadiun Senayan pada 23 Juni 1990 termasuk salah satu
konser musik terbesar yang pernah diadakan di Indonesia. Media memberi
perkiraan yang berbeda-beda. Ada yang memperkirakan penontonnya 100 ribu
orang tapi ada juga yang 150 ribu. Sulit untuk tahu mana yang lebih
akurat karena metode perhitungannya tak jelas Kapasitas stadiun Senayan
sendiri sekitar 90 ribu.
Tapi berapa pun jumlahnya, penontonnya
memang banyak sekali. Mereka memakai lampu laser, bom asap, sound system
raksasa, panggung spektakular. Atmakusumah Astraatmadja, mantan
redaktur harian Indonesia Raya dan kini ketua Dewan Pers, termasuk salah
satu penonton. Putra sulungnya seorang pemanjat tebing yang ikut dalam
tim yang bertugas menyelamatkan pemain Kantata Takwa bila terjadi
kerusuhan. Mereka memasang tali-temali dan bisa meluncur ke tengah
panggung bila ada keributan.
Astraatmadja gelisah melihat massa
sebanyak itu. Lelaki tua yang mendampingi empat remaja ini masuk ke
Senayan dengan bantuan polisi. “Itu sebuah perlawanan kultural, bukan
saja oleh Iwan dan kawan-kawan, tapi juga para penonton,” kata
Astraatmadja. Dia menilai perlu keberanian luar biasa untuk menyanyikan
Bento.
Setiawan Djody, si pengusaha kapal tanker, tampil main
gitar listrik, seraya memekik-mekik. “Saya heran kok berani-beraninya
Setiawan Djody itu,” kata Astraatmadja.
Endi Aras mengatakan
Djody membiayai semuanya Rp 1 miliar lebih. Ma’mun menanggapinya dengan
lebih hati-hati. Iwan dianggap bergaul dengan orang-orang yang terlalu
liberal untuk ukuran keluarganya. Selesai Kantata Takwa, Iwan
melanjutkan Swami II yang beredar 1991. Album ini kurang sukses.
Sambutan jauh lebih kecil dari Swami. “Saya sudah bilang pada Iwan,
‘Jangan kamu ulangi lagi,’” kata Ma’mun.
Endi Aras mulai masuk
lingkaran kecil Iwan Fals pada 1994 ketika ia diminta jadi manajer Iwan.
Tanggung jawab Endi serabutan dan dasarnya pertemanan. Kalau ada
permintaan konser, Endi yang berhubungan dengan panitia, mengurus
pembayaran, menyewa alat, dan sebagainya. Honor Iwan sekali pertunjukan
Rp 6 juta. Endi tak menerima bayaran rutin. Kalau ada pekerjaan dia
diberi “uang transport.”
Endi juga jadi manajer produksi album
Hijau. Di sini Iwan memakai dua pemain kibor: Iwang Noorsaid dan Bagoes
A.A. Mereka banyak diskusi agar album ini secara artistik bagus.
Lagu-lagu tak diberi judul. Hanya Lagu 1, Lagu 2, Lagu 3, Lagu 4. Endi
dan pemusik lain kurang setuju tapi semuanya kalah argumentasi dengan
Iwan. “Biar agak lain saja,” kata Iwan.
Endi tambah stres karena
produser Handoko dari Harpa Record dan Adi Nugroho dari Prosound
bersaing membeli master album Hijau. Mereka tawar-menawar. Endi lapor ke
Iwan soal tawar-menawar ini. Iwan malah tersinggung albumnya
ditawar-tawar. “Wah Ndi, masternya dibakar saja,” kata Iwan. Gantian
Endi yang jengkel karena merasa kurang dihargai. Endi dua hari sekali
menemui Iwan, yang sudah pindah ke Cipanas, dua jam naik mobil dari
Jakarta. Mereka akhirnya menerima harga Prosound Rp 365 juta termasuk
sampul dan video clip. Endi mendapat Rp 10 juta dari anggaran Rp 65 juta
untuk biaya produksi.
Sampul kaset dibikin disainer Dick Doang
dominan hijau dengan menggunakan foto beberapa anak kecil bermain
lompat-lompatan. Iwan tak mau namanya ditonjolkan. Dia tak mau sampul
ada fotonya. Menurut Endi, Iwan berpendapat status mereka sama, delapan
orang pemusik. Iwan mau nama Iwang Noorsaid, Bagoes A.A., Cok Rampal,
Jalu, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Jerry Soedianto, dan Iwan Fals dicetak
semuanya pada sampul. Dick Doang, juga seorang penggemar Iwan, setuju
usul itu. Konsekuensinya, nama-nama musisi dicetak dengan font kecil.
Endi kurang setuju dan khawatir kasetnya kurang laku.
Saya tanya
pada Endi, kalau Iwan mau setara, bagaimana pembagian honornya? Endi
tersenyum dan bilang Iwan “curang” karena honor musisi Rp 300 juta
dibagi dua: 40 persen Iwan dan 60 persen tujuh musisi sisanya. Artinya,
Iwan dapat Rp 120 juta sedang lainnya rata-rata dapat Rp 25 juta.
Selama
mengerjakan Hijau, Iwan berhenti mengganja, berhenti merokok, dan mulai
salat. Hari-hari di Cipanas dipakai untuk “rehabilitasi.” Iwan tahu
membuatnya tak bisa “panjang nyanyiannya.” Tubuhnya bentol-bentol,
emosinya labil. Endi mengatakan ini periode “komunitas bersih” karena
beberapa pemain, termasuk Noorsaid dan Heiri Buchaeri, rajin salat dan
hidupnya sederhana. Kresnowati mengatakan ada juga musisi Hijau yang
“pemakai berat ganja.”
Perubahan Iwan juga mengubah Karno,
asistennya yang setia, yang biasa membantu Iwan untuk urusan pribadi,
mulai mengatur instrumen musik hingga menyiapkan lintingan ganja. “Karno
lebih seniman dari Iwan. Dia nggak menikah, mungkin karena nggak
dapat-dapat, dan penggemar Iwan,” kata Wati.
Hijau diluncurkan
1992. Tak terlalu meledak di pasar. Endi kecewa, merasa kurang dihargai.
Endi mundur dari pekerjaannya. “Endi punya kekaguman yang sangat pada
Iwan. Tapi juga kekecewaan. Ngatur dia itu ruwet,” kata Kresnowati.
KETIKA
Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang perasaannya campur-aduk
karena pertama kali merasakan diri jadi ayah—merasa harus bertanggung
jawab, merasa mencintai, heran, bahagia, bangga punya keturunan dan
sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang Rambu Anarki. Lagunya cukup
terkenal dan masuk album Opini (1982).
Galang tumbuh jadi anak
cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad
Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang.
Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan
harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang
menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua
kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika
beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk.
Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar
taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata
Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa
menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa
mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari
Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat
Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak
mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang
memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak
dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan
sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga
Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan
sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan
tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang
pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan,
Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa
diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan
menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa
Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan
Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan
Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang
juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak
memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis
malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah,
setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur.
Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang
telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu
Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly
memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan
menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar
Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke
bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul
sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua
kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di
Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata
Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno
Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang
meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana
menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid,
suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak
tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke
Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke
Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan
beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras
mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.”
Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad
Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia
berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, papa yang belum ...
Lang, kamu sudah selesai, papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan
Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain
anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri
kurang menjaga anaknya dengan baik.
“Yos histeris, menangis
ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’”
kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya
bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong
sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul
pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan
Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon
kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus
Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru
mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum
Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon
menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di
rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga.
Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena
keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut
Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga
menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies
datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini
kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid
Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut
menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos
datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir,
Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi
wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan
biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena
tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis
penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya.
Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek
spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah
diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana
mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi
sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan
“Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal
spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius.
Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan
percaya anaknya punya kontrol diri.
Menurut teman-temannya, Yos
menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh
perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih
tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal.
“Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya
sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan
Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang,
lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya
dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman
manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau
bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat
kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang)
membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa
lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain
ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia
pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia
percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani …
rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi
kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak,
"Hoooooooaaaaah ...."
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari
mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam
sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang.
Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi
kalau lagi senang ya lupa lagi.”
ROLLY Muarif termasuk satu
dari sekian orang yang sering menemani Iwan Fals pasca-kematian Galang.
Rolly seorang musikus kelahiran Gorontalo, pernah menghibur penumpang
kapal Kambuna jurusan Manado-Jakarta. Kalau menganggur, Rolly menjaga
toko spare part di Kranggan, dekat Leuwinanggung.
Iwan sering
mengundang Rolly ke Leuwinanggung. Iwan suka melukis dan mengobrol dekat
makam Galang. “Sering curhat sama saya soal Galang karena cuma ada saya
doang,” kata Rolly. Dia juga menemani Iwan main catur dan mengobrol
hingga subuh. Suatu saat Iwan bilang, “Kalau untuk anak (kehilangan) ke
orang tua, bisa dimaklumi, tapi kalau orang tua ke anak, itu berat.”
“Saya memahami saja,” kata Rolly pada saya.
Iwan
banyak melukis, kadang-kadang di rumah Leuwinanggung lukisannya
dipajang, dilihat dari jauh. Rekaman album baru ditunda sejak kematian
Galang. “Saya disuruh memandang, kadang dibalik,” kata Harun Zakaria,
tetangga Iwan, yang juga sering mengobrol pasca-kematian Galang. Iwan
juga memenuhi undangan dari masyarakat Leuwinanggung, acara jaipongan,
kematian, pengajian, kenduri, perkawinan, salawatan. “Ke mana-mana ajak
saya,” kata Harun.
Iwan juga bermain sepak bola dan membayar
seorang pelatih untuk melatih anak-anak Leuwinanggung. Harun cerita Iwan
menyumbang renovasi mushola dekat rumah mereka, “Karpetnya disumbang
Kak Iwan.” Iwan juga melatih karate. Dia membuka dojo dan pesertanya
sampai 200 orang. “Saya latih sendiri,” katanya.
Ketika krisis
moneter menghantam ekonomi Indonesia, Iwan Fals sempat mencoba bikin
lagu untuk menggugah semangat orang berusaha. Karya ini terhenti ketika
demonstrasi-demonstrasi anti-Soeharto makin keras. Pada Mei 1998
Soeharto mundur dari kekuasaannya dan Indonesia memasuki era
demokratisasi. Perubahan besar-besaran di ambang pintu. Iwan pun melihat
saatnya ia mengambil langkah baru.
Iwan Fals melihat banyak
penggemarnya kurang punya dasar ekonomi yang kuat. Iwan ingin
“memberdayakan” mereka. Iwan pun mendirikan Yayasan Orang Indonesia dan
minta Ma’mun jadi wakil ketua, Endi sekretaris, Yos bendahara, dan dia
sendiri ketua.
Ini ternyata tak cukup. Iwan ingin melibatkan para
penggemarnya langsung. Ide ini dibicarakan dengan Ma’mun, Yos, dan
Endi. Hasilnya, mereka sepakat mengundang para penggemar Fals, lewat ke
Leuwinanggung selama tiga hari pada pertengahan Agustus 1999.
Kresnowati
diminta mengorganisasikan pertemuan itu. Lapangan belakang rumah Iwan
ditutup pasir, dibangun tenda besar 600 meter persegi untuk tidur,
dibelikan nasi bungkus, dan dicarikan sponsor perusahaan air mineral.
Iwan minta tukang membangun 20 kamar mandi.
Ternyata sambutannya
besar. Penggemar Iwan dari banyak golongan datang. Ada pencuri, ada
bandar narkotik, karyawan biasa, bapak yang sepuh, perempuan tomboy,
juga wanita berjilbab. Ada juga yang penampilannya “punk rock abis” dan
bikin Wati deg-degan. “Di luar pagar juga banyak yang menunggu mau
masuk. Maunya ketemu Iwan, berfoto bersama,” kata Wati.
Ketika
diskusi, kualitas mereka kelihatan beragam. Ada yang berapi-api tapi
banyak yang asal omong. Antusiasme ini mengejutkan karena Iwan lama tak
muncul ke publik. Album terakhirnya keluar 1993.
Wati juga geli
melihat tato pada penggemar Fals. Banyak yang punggungnya digambari
Iwan. Ada pula tato jidat, daerah antara alis mata, ditato kata “Fals.”
Dari Bandung sekelompok penggemar menato kata “Fals” di antara jempol
dan jari telunjuk. “Kalau Fals pasti Iwan Fals. Kalau Iwan kan banyak,”
kata Ainun Rofiq, manajer restoran cepat saji McDonald yang jadi
bendahara Oi.
Semalam sebelum pertemuan, Iwan, Yos, Ma’mun, Endi,
dan Wati diskusi. Intinya, mereka mau serahkan kepengurusan Oi kepada
orang-orang baru itu atau mereka pegang sendiri? Mereka sepakat dipegang
sendiri dulu. Kalau sudah jalan diserahkan pada orang banyak.
“Saya
nggak mau kalau ketua. Konsekuensinya berat. Endi juga nggak mau.
Sampai pulang nggak jelas. Ma’mun nggak mau juga. Ma’mun ingin Iwan jadi
ketua. Endi nggak mau (alasannya) ini khan fans club. Endi keukeuh
(harus) Wati,” kata Kresnowati.
Keesokan hari Kresnowati terpilih
sebagai ketua Oi. Menurut Digo Zulkifli, penggemar asal Bandung, pada
pertemuan tiga hari itu mereka diskusi: mau jadi fans club atau
organisasi massa. “Kalau jadi fans club, idolanya sendiri, si bosnya
(Fals) nggak enak.” Mereka memutuskan jadi organisasi massa.
Wati
pada tahun pertama lebih meletakkan dasar administrasi. Mereka bikin
kartu anggota, membuka cabang, dan membuat arsip. “Nggak mudah mengatur
10.000-an orang di seluruh Indonesia.” Kini Oi diketuai Heri Yunarsa,
seorang pegawai negeri dari Serang.
Hambatan banyak. Wati melihat
orientasi penggemar Fals masih kabur antara organisasi massa dan klub.
Banyak yang masuk Oi untuk “cium tangan” Iwan. “Kayak ketemu raja …
apalagi daerah lho ... kita jadi bingung ngeliatnya,” kata Wati. Masalah
dana juga hambatan. Iwan mungkin orang kaya tapi mendanai organisasi
butuh uang besar sekali.
Entah apa yang akan terjadi kalau Iwan
suatu saat jadi kurang populer atau makin mengendurkan musiknya?
Bagaimana bila Iwan meninggal? Sejauh mana Oi bisa bertahan kalau
didasarkan ikatan emosional pada lagu-lagu lama Iwan Fals? Bagaimana
mengubah loyalitas individu jadi loyalitas organisasi? Bagaimana Oi bisa
“memberdayakan” anggotanya?
Saya ingat Elvis Presley, bintang
musik pop Amerika 1960-an, yang mengatakan, “Music is like religion:
when you experience them both, it should move you.” Menurut Sun Record,
album Presley terjual lebih dari satu milyar selama masa hidupnya (Love
Me Tender, It’s Now Or Never atau Are You Lonesome Tonight).
Musik
Fals juga menggerakkan banyak orang di Indonesia. Fals dianggap mampu
merekam semangat perlawanan orang-orang yang dipinggirkan pada masa Orde
Baru. Ketika Presley meninggal, lagu-lagunya malah jadi abadi. Makam
dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Lagu-lagunya terus direkam ulang
dan jadi tambang emas untuk ahli warisnya. Akankah Fals mengikuti jejak
Presley? Apakah musik Fals sudah mirip pengalaman beragama?
Iwan sudah pernah memikirkan ini. “Ada saya atau tak ada saya, saya hadir di Oi,” kata Digo Zulkifli menirukan Fals.
Oi
kini punya perwakilan di berbagai kota Indonesia. Ini organisasi unik
tanpa preseden. Kantor-kantor perwakilannya juga unik. Di Cilegon ia
nongkrong di kantor pemerintahan kabupaten. Di Tangerang berkantor di
tukang jagal. Banyak juga yang berada di gang-gang sempit. Agus Suprapto
dari Oi Yogyakarta mengatakan mereka mendapat bantuan dari Sultan
Hamengku Buwono X.
Gema Fals juga tembus hingga Timor Lorosa’e.
Hugo Fernandes, redaktur majalah Talitakum, memberitahu saya bahwa
panitia kemerdekaan Timor Lorosa’e mengundang Iwan Fals ke Dili ketika
negara itu hendak menyatakan merdeka 20 Mei lalu. “Semua orang Dili
tunggu Iwan Fals mau datang. Orang kecewa karena Iwan tidak datang. Di
Dili dia itu kayak dewa.”
Tampaknya negara kecil yang punya luka
tersendiri karena penguasaan Jakarta ini—sering dikatakan sepertiga
penduduknya mati karena terbunuh atau kelaparan akibat 22 tahun
pendudukan tentara Indonesia—punya banyak orang yang justru merasa
ketertindasan mereka diwakili dan disuarakan Iwan Fals.
SESUDAH
lama tak berkarya, Iwan Fals mengalami hambatan bikin album baru.
Effendy Widjaja, salah seorang direktur Musica, membantu Fals
mengatasinya. “A Pen yang mendobrak. Saya harus bikin lagu katanya.
‘Jangan loyo dong!’ Dia mrepet (mengomel),” kata Iwan.
“Akhirnya
saya bangkit, minjam duit. Dia pilih dari 300 lagu, dia tandai. Dia
pandai, pilihannya saya lihat masih dalam bingkai saya.”
A Pen,
nama panggilan Effendy, berunding dengan kakaknya, Sendjaja Widjaja atau
A Ciu, presiden direktur Musica, dan Iwan pun diberi pinjaman uang.
Mereka tak menyebut berapa pinjamannya. Musica hanya bersedia menjawab
pertanyaan saya secara tertulis.
Saya memperkirakan pinjaman ini
diperlukan Iwan dan Yos, selaku pemimpin Manajemen Iwan Fals, untuk
membiayai “jadwal-jadwal” pemakaian studio untuk latihan, rekaman, dan
sebagainya. Kalau biaya sewa studio dihitung Rp 500 ribu sekali pakai,
Iwan mengatakan pada saya, ia memakai 720 kali jadwal untuk membuat
album yang dinamai Suara Hati. Artinya, Iwan membutuhkan sekitar Rp 360
juta untuk membiayai jadwal rekamannya. Manajemen Iwan Fals memakai
pinjaman Musica itu untuk membangun sebuah studio. Iwan lantas menyewa
studio itu kepada Manajemen Iwan Fals. Agak rumit memang. Iwan berhitung
bisnis dengan istrinya sendiri.
Bagaimana membayar Musica? Iwan
menerangkan bahwa royalti sebuah kaset Rp 2.000. Kalau Suara Hati laku,
katakanlah 150 ribu, berarti ia mendapat Rp 300 juta. Royalti ini
dipakai membayar piutang Musica. “Dari segi ekonomi saya rugi. Saya
nggak dapat apa-apa dari Musica. Saya hanya mengharapkan dari royalti
... kaset itu seumur hidup ya,” katanya.
Iwan memanfaatkan
teman-teman lama—Inisisri, Nanoe, Iwang Noorsaid, dan Maman Piul (pemain
biola)—untuk mengerjakan Suara Hati. Kesulitan terbesar muncul dari
komputer. Iwan menggunakan komputer mutakhir Macintosh G4 dalam studio
barunya. “Saya nggak pakai operator karena nggak bisa bayar,” kata Iwan.
“Saya juga mau belajar komputer.” Iwan tak memahami kerja Macintosh
dengan rapi. Dampaknya, ada rekaman-rekaman yang hilang.
Khusus
memilih pemain gitar prosesnya berbeda. Suatu hari Endi Aras mengajak
Digo Zulkifli, gitaris asal Bandung yang juga penggemar Fals, berkunjung
ke Leuwinanggung. Digo membantu Endi di Matamata Communications sesudah
kenal saat pembentukan Oi. Hari itu Digo menemui Iwan di studio.
Kebetulan Iwan lagi butuh orang mengisi gitar listrik. Di studio,
menurut Digo, ia ditanya Iwan, “Digo kamu main elektrik?”
“Ya”
“Coba deh ini di album baru.”
“Saya minta waktu dan ruangnya saja,” kata Digo.
Iwan
mempersilakan tapi mengingatkan Digo bahwa proposal Digo belum tentu
diterima. Digo bersedia. Digo menduga Manajemen Iwan Fals masih
mempertimbangkan gitaris kawakan Ian Antono, I Gede Dewa Bujana, dan
Totok Tewel untuk mengisi gitar. Ketiga gitaris itu kenal Iwan. Ian
Antono juga menata musik album Mata Dewa. Pilihan ternyata jatuh pada
Digo Zulkifli.
Digo pun ikut rekaman bersama Inisisri, Nanoe,
Noorsaid, dan Iwan. Ketika rekaman rusak, Iwan merasa sungkan minta
kembali Nanoe, Noorsaid, dan Inisisri. “Nggak enak,” katanya. Digo
dengan mudah dimintanya ikut rekaman ulang. Iwan pun membentuk band baru
untuk mengisi sebagian rekaman yang hilang. Iwan mengajak Edi Edot
(bass), Ayub Suparman (kibor), dan Danny Kurniawan (drum).
Belakangan
ternyata ada rekaman lama yang ditemukan lagi. Dalam album Suara Hati,
lagu Hadapi Saja muncul dua kali. Dua lagu, dua band, satu penyanyi,
satu album. Kontribusi Noorsaid ada pada lima dari 12 lagu di sana.
Endi
Aras melihat adanya dua band ini dengan kritis. “Iwan gampang
meninggalkan kawan-kawannya. Grup yang sekarang ini dari penggemar dia
semua. Itu dari Oi semua,” kata Endi, seakan-akan hendak mengatakan Fals
sekarang dikelilingi orang yang relatif kurang setara kemampuannya
dengan Iwan. Tak ada lagi Sawung Jabo, Inisisri, Ian Antono atau Jalu,
Cok Rampal, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Iwang Noorsaid. Nanoe bahkan
meninggal ketika Suara Hati belum sempat diluncurkan.
Padahal
tantangan Iwan makin besar. Naik ke puncak tangga sangat sulit tapi
mempertahankannya lebih sulit lagi. Umur juga bertambah. Iwan juga harus
mengikuti selera penggemar yang lebih muda. “Kalau Iwan mau panjang,
orang-orangnya harus profesional. Posisi manajer di situ bisa lemah
karena istri sendiri. Iwan nggak bisa di-manage karena egonya sangat
besar. Yos bingung juga,” kata Endi.
Suara Hati diluncurkan awal
tahun ini. Tempo menyebut album ini lagu-lagunya bagus tapi aransemennya
lemah. Hai memuji setinggi langit. Sambutan publik cukup baik.
Keberadaan Oi tampaknya membantu pemasaran kaset Fals. Anggota-anggota
Oi adalah penggemar fanatik Iwan. Manajemen Iwan Fals menyambung
peluncuran album itu dengan konser Satu Hati Satu Rasa sekitar 40 kota,
antara Maret hingga Agustus lalu.
Suasana Indonesia berbeda
sekali antara konser Satu Hati Satu Rasa dan Mata Dewa. Pada 1989
hambatan Mata Dewa terletak pada polisi. Konsernya dilarang di
Palembang. Kini demokratisasi mulai terasa di berbagai institusi negara,
termasuk polisi, sehingga tur Satu Hati Satu Rasa tahun ini berjalan
lancar. Tak ada larangan walau Manajemen Iwan Fals sempat memundurkan
beberapa jadwal konser karena ada sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat
Agustus lalu. Alasannya, tenaga polisi dikerahkan mengatasi massa
politik.
Iwan Fals bukan saja tampil di kota besar macam Jakarta
dan Surabaya, tapi juga kota menengah macam Cilegon, Sukabumi, Kuningan,
Bandar Lampung, Magelang, Mataram, dan sebagainya. Dari laporan
suratkabar, jumlah penonton berkisar 5.000 hingga 15.000 orang. Tak
sebesar konser Kantata Takwa dengan 100 ribu penonton tapi harus diingat
bahwa konser kali ini jumlah kotanya benar-benar banyak.
Menurut
Sendjaja Widjaja, hingga 25 Agustus lalu kaset Suara Hati sudah terjual
160 ribu. Ini lumayan untuk ukuran Musica walau belum selaris band
remaja Sheila on 7 dari PT Sony Music Indonesia yang penjualan album
tunggalnya bisa tembus satu juta keping.
Menurut Sendjaja,
penjualan album Fals paling laris adalah Tembang Cinta (1993) sebanyak
535 ribu dan Best of the Best Iwan Fals sebanyak 466 ribu. Keduanya
album kompilasi atau campuran. Best of the Best diedarkan tahun 2000 dan
sampai sekarang masih termasuk album-album terlaris Musica.
Endi
Aras mengatakan lagu Hadapi Saja disukai Iwan. Album ini mengingatkan
pendengar pada kematian Galang Rambu Anarki. Ini juga mengingatkan saya
pada penghormatan Eric Clapton kepada anaknya, Conor, dengan lagu Tears
in Heaven. Conor masih berumur 4,5 tahun ketika jatuh dari lantai 56
apartemen Clapton di New York pada 1991. Clapton juga tertekan karena
kematian Conor.
Aransemen Hadapi Saja meyayat hati. Permainan
biolanya mengalun. Liriknya juga kuat. Saya kira kematian anak-anak
mereka jadi dorongan besar bagi Clapton dan Fals untuk menciptakan karya
yang ekspresif.
relakan yang terjadi dia takkan kembali
ia sudah jadi milik-Nya bukan milik kita lagi
tak perlu menangis
tak perlu bersedih
tak perlu sedu sedan itu
hadapi saja
hilang memang hilang
wajahnya terus terbayang
jumpa di mimpi
kau ajak aku untuk menari, bernyanyi
bersama bidadari, malaikat, dan penghuni surga
Endi
Aras juga cerita proses pembuatan lagu 15 Juli 1996. Pada 15 Juli 1996
Endi menemani Iwan Fals pergi ke tempat Megawati Soekarnoputri, ketua
Partai Demokrasi Indonesia, yang kedudukannya sedang digoyang tukang
pukul dan centeng Soeharto. Iwan tak bertemu Megawati, hanya lihat dari
jauh, tapi simpatinya muncul. Dua minggu setelah kedatangan Iwan, para
tukang pukul itu menyerbu markas Megawati, menggusur para pendukung
Megawati dengan kekerasan, dan memicu pergolakan Jakarta yang dikenang
sebagai Peristiwa 27 Juli 1996.
Tapi masih ada kritik tentu.
Kritik datang dari Santi W.E. Soekanto, wartawan The Jakarta Post, yang
mengingatkan publik bahwa sponsor utama Iwan Fals adalah rokok A Mild
dari Sampoerna. “Inilah hal yang sama sekali tak dibutuhkan Indonesia:
pahlawan yang memperkenalkan ‘pintu masuk’ pemakaian narkotika dan
obat-obatan keras.”
Soekanto mengutip data World Health
Organization yang mengatakan ada 1,1 miliar perokok di dunia. Jumlah ini
akan meningkat hingga 1,6 miliar pada 2025. Di negara-negara kaya,
jumlah perokok menurun, tapi jumlahnya meningkat di negara-negara
miskin. Indonesia negara miskin bukan?
Departemen Kesehatan
melaporkan 6,5 juta orang Indonesia tiap tahun terkena penyakit akibat
kebiasaan merokok dan 57 ribu di antaranya meninggal dunia (kebanyakan
laki-laki). Kebiasaan merokok membuat pemerintah kehilangan banyak
sumber daya karena membiayai kerusakan-kerusakan akibat rokok.
Di
negara-negara kaya kampanye antirokok berjalan kencang. Federation of
Football Association (FIFA) November lalu menandatangani perjanjian
dengan WHO melarang sponsor rokok di lapangan sepak bola. FIFA sengaja
menyamakan pembukaan Piala Dunia 2002 di Korea Selatan dan Jepang 31 Mei
lalu dengan hari antirokok sedunia. MTV mendukung kampanye antirokok
dengan memasang iklan para penyanyi yang menganjurkan remaja tak
merokok. Di Amerika Serikat para penyanyi besar mendukung kampanye
antirokok.
Industri rokok melawan kampanye ini lewat iklan dan
promosi besar-besaran, terutama di negara-negara berkembang, baik lewat
sponsor olahraga maupun musik. Iklan mereka menipu para remaja dengan
kesan palsu bahwa rokok membuat mereka terlihat gagah dan dewasa. Rokok
diidentikkan dengan olahragawan dan musisi ternama.
Ini dilawan.
WHO di Indonesia memilih juara tenis Angelique Widjaja, binaragawan Ade
Rai, dan peragawati Tracy Trinita untuk mendukung kampanye antirokok.
“Sayangnya, tak terlalu banyak anak muda yang melihat Angie, Ade, atau
Tracy. Para aktivis antirokok memerlukan senjata yang lebih besar.
Seseorang dengan kaliber Iwan Fals,” kata Santi Soekanto.
Kolom
ini mengingatkan saya pada diskusi Salatiga 12 tahun lalu. Dalam 12
tahun ini Iwan melihat Galang ikut-ikutan papanya merokok lantas mencoba
obat-obatan hingga meninggal. Kehidupan pribadi Iwan memang berubah
banyak. Titin Fatimah, sekretaris Manajemen Iwan Fals, mengatakan pada
saya ketika ia mulai bekerja tiga tahun lalu, Iwan Fals sudah tak
merokok.
“Suatu kenyataan hanya rokok yang bisa mengeluarkan dana
cukup besar untuk pertunjukan musik. Dulu kalau pertunjukan indoor,
banyak penonton yang tak bisa nonton. Kami memutuskan outdoor dan biaya
produksinya besar. Hanya rokok yang bisa membiayainya,” kata Yos Rosana.
Fals
sempat bilang dia mungkin bisa merokok lagi dengan tur sponsor rokok.
Yos mengatakan lebih baik tidak tur bila Iwan Fals kembali merokok.
“Mendingan nggak usah main,” kata Yos. “Saya juga nggak suka rokok itu.
Saya tahu itu ndak baik. Ini buah simalakama,” kata Yos.
Henny
Susanto dari Sampoerna, menerangkan kepada saya bahwa A Mild menghormati
kontrak itu. Mereka mensponsori Iwan Fals karena penggemar Fals “sangat
sesuai” dengan pangsa pasar A Mild.
Penjelasan Titin, Yos, dan
Henny Susanto senada dengan materi diskusi Salatiga. Rokok dianggap
menganggu estetika tapi bukan kesehatan. Saya sulit menyalahkan Iwan
kalau ia belum berani menolak sponsor rokok karena kontribusinya sangat
besar. Tanpa rokok mungkin tak ada konser.
Apa yang didapat
Sampoerna? Henny Susanto menjawab, “Kesempatan untuk berkomunikasi
dengan target market, baik yang datang ke pertunjukan maupun yang
sekedar melihat publikasi yang kita lakukan.”
Kalau saya boleh
menterjemahkan kata-kata Henny Susanto, A Mild merasa gembira dengan
kerja sama ini. Para penggemar Iwan Fals, katakanlah orang semacam Fajar
Wijaya, si pengamen bertopi merah itu, adalah pangsa pasar A Mild.
Sedih juga mengetahui Iwan Fals ikut mendorong anak-anak muda merokok.
Kehidupan
bukan sesuatu yang sederhana. Kehidupan sering penuh kompromi. Senja
September itu, ketika saya meninggalkan Leuwinanggung, pikiran saya
penuh dengan gejolak tentang Iwan Fals. Dia dipuja, disukai, dan
dianggap manusia super, tapi ia juga mungkin kesulitan memenuhi harapan
orang banyak yang menganggapnya bisa mewakili dan menolong mereka.
Tambahan:
Kini
Iwan Fals semakin matang dan religius. Merokok dan lain-lain sudah lama
ia tinggalkan. Mendekat kepada Sang Pencipta pun semakin intens ia
lakukan. Hal ini antara lain tercermin pula dari beberapa lagu terkini.
Iwan senantiasa belajar dari perjalanan masa lalu untuk menjadi manusia
yang semakin baik. Satu hal yang tak pernah berubah dalam diri Iwan, ia
tak pernah lelah bersuara lantang melawan ketidakadilan. [ Sumber : Andreas Harsono ]
Saya nama fatma, tinggal di Indonesia, saya adalah seorang Muslim yang taat Saya ingin menggunakan
BalasHapusMedia ini untuk mengingatkan semua orang mencari pinjaman untuk berhati-hati tentang scammers karena bulan everywhere.Few lalu saya finansial turun, dan karena kebutuhan saya, putus asa dan kemiskinan, saya telah scammed oleh beberapa perusahaan bernama pinjaman online. Aku tidak kehilangan harapan sampai seorang teman saya merujuk saya ke pemberi pinjaman sangat handal disebut Mrs theresa yang meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar $ 100.000 dalam 24 jam tanpa tekanan, pada awalnya itu seperti mimpi bagi saya sampai saya melihat angsuran pertama saya peringatan 2 jam setelah saya diterapkan. Saya mendorong sesama Indonesia yang membutuhkan pinjaman untuk silahkan hubungi Ms. Theresa melalui: theresaloancompany@gmail.com
Hati-hati! Anda juga dapat menghubungi saya untuk informasi lebih lanjut melalui: feyzilfatma@gmail.com